BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Anak sekolah merupakan aset atau modal
utama pembangunan di masa depan yang perlu dijaga, ditingkatkan dan dilindungi
kesehatannya. Sekolah selain berfungsi sebagai tempat pembelajaran, juga dapat
menjadi ancaman penularan penyakit jika tidak dikelola dengan baik. Lebih dari
itu, usia sekolah bagi anak juga merupakan masa rawan terserang berbagai
penyakit. (Depkes RI, 2007).
Salah
satu penyakit yang banyak diderita oleh anak-anak, khususnya usia sekolah dasar
adalah penyakit infeksi kecacingan, yaitu sekitar 40-60 %. (Depkes RI, 2005).
Penyakit infeksi kecacingan ini masih merupakan problema kesehatan dan ekonomi
yang utama pada masyarakat, pekerja maupun individu. Diseluruh dunia
diperkirakan masih ditemukan sebanyak 300 juta kasus penyakit kecacingan, baik
infestasi tunggal maupun infestasi campuran lebih ciri satu jenis cacing
diantaranya adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura dan cacing
tambang. (Dewayani ,2004).
Anak
sekolah adalah salah satu penderita penyakit kecacingan yang prevalensinya
tinggi dikarenakan usia anak sekolah memiliki banyak faktor resiko terinfeksi
penyakit kecacingan di mulai dari faktor bermain anak, kebersihan diri,
kebersihan lingkungan, kebiasaan mencuci tangan sebelum makan yang masih kuramg
dan kurangnya perhatian orang tua.
Cacingan
adalah suatu penyakit yang di timbulkan oleh berbagai cacing yang berada dalam
rongga usus yang menyebabkan terjadinya infeksi dalam tubuh manusia. Cacing
yang hidup dalam rongga usus adalah kelas Nematoda usus. Dari berbagai jenis
Nematoda usus yang terdapat sejumlah spesies Nematoda (cacing perut) yang
secara alami memerlukan tanah untuk pertumbuhan telurnya menjadi bentuk
infektif dan penularannya terjadi dengan berbagai cara ; ada yang masuk secara
aktif, ada pula yang tertelan atau dimasukan oleh vektor melalui gigitan yang
ditemukan di tanah, jadi tanah bertindak sebagai hospes perantara sehingga di
sebut “soil transmitted helminthes”
Menurut
data WHO dalam Nevi (2006), seperempat penduduk dunia terinfeksi kecacingan
kronis. Diperkirakan 1,4 milyar orang kecacingan Ascaris lumbricoides (cacing
gelang), 1 milyar orang oleh Trichuris trichiura (cacing cambuk) dan 1,3
milyar orang kecacingan Ancylostoma duodenale (cacing tambang).
Sebagian
besar penderita kecacingan tinggal di negara-negara beriklim tropis
seperti Indonesia. Prevalensi penyakit kecacingan di Indonesia tergolong
cukup tinggi, yaitu 70%-90% dan sebagian besar yang menjadi korban
adalah anak-anak usia sekolah, terutama sekolah dasar dan golongan
penduduk yang kurang mampu.
Hasil survei di 10 propinsi di tahun
2005 dengan sasaran anak sekolah dasar sangat bervariasi antara 1,37 % sampai
77,14 % dengan prevalensi tertinggi di Propinsi Banten dan terendah di Propinsi
Kalimantan Selatan. Jenis cacing penyebab sebagian besar adalah Trichuris
trichiura (cacing cambuk) sebesar 16,52%, dilanjutkan Ascaris
lumbricoides (cacing gelang) sebesar 12,38 % dan terkecil adalah Ancylostoma
duodenale (cacing tambang)1,38 % (Depkes, 2006).
Gambaran penyakit cacing pada anak
Sekolah Dasar di Sulawesi Barat selama tahun 2006-2007. Metode yang digunakan
adalah analisis deskriptis dari hasil pengambilan sampel faeces anak SD dari
tahun 2006-2007 dan laporan-laporan hasil intervensi pencegahan dan
penanggulangan penyakit kecacingan. Hasilnya adalah presentase positif
faeces kecacingan mengalami penurunan dari tahun 2006 sebesar 34 % menjadi 13 %
ditahun 2007, penurunan ini karena telah dilakukan intervensi berupa pemberian
obat cacing ( obat pirantel pamoat 10 mg / kg BB dan albendazole 10 mg/kg BB ).
Pada tahun 2008 dilakukan kembali pengambilan sampel feaces pada dua kabupaten
di Sulawesi Barat yaitu Kabupaten Polewali Mandar yang positif kecacingan 61 %,
Kabupaten Mamuju Utara sebesar 45 %. Rata – rata tingkat kecacingan di Sulawesi
Barat adalah 53 %. (DINKES SULBAR 2007).
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
uraian di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah ‘’Bagaimana Hubungan Kandungan Cacing Tanah
Dengan Kejadian Kecacingan Di SDN 03 Bambalamotu Kabupaten Mamuju Utara”?
C.
Tujuan Penelitian
a.
Tujuan
Umum
Untuk
mengetahui hubungan kandungan cacing tanah dengan kejadian kecacingan di SDN 03
Bambalamotu Kabupaten Mamuju Utara.
b.
Tujuan
Khusus
1.
Untuk
mengetahui hubungan Ascaris lumbricoides dengan kejadian kecacingan di SDN 03 Bambalamotu Kabupaten Mamuju Utara.
2.
Untuk
mengetahui hubungan Trichuris trichiura dengan kejadian kecacingan di SDN 03 Bambalamotu Kabupaten Mamuju Utara.
3.
Untuk
mengetahui hubungan Ancylostoma duodenale dengan kejadian kecacingan di SDN 03 Bambalamotu Kabupaten Mamuju Utara.
D.
Mamfaat Penelitian
a. Bagi Pemerintah
Sebagai
tambahan informasi dan masukan dalam upaya pencegahan masalah kesehatan
khususnya penyakit kecacingan.
b.
Bagi
Masyarakat
Memberikan
informasi kepada masyarakat mengenai faktor resiko yang berpengaruh terhadap
terjadinya infeksi kecacingan, sehingga masyarakat dapat mengetahui dan
melakukan upaya pencegahan.
c.
Bagi Peneliti
Dapat menjadi pengalaman berharga dalam memperluas
wawasan dan pengetahuan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Tinjauan
Kandungan Cacing Tanah
1. Pengertian
kecacingan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001) dengan
memberi imbuhan ke an akhiran an terhadap suatu kata benda maka
terhadap kata tersebut mengandung arti menderita atau mengalami
kejadian. Dengan demikian, kata kecacingan berarti seseorang yang
mengalami kecacingan. Sedangkan Menurut Dinkes Jawa Timur (2003)
Kecacingan ialah penyakit yang disebabkan karena masuknya parasit (berupa cacing)
ke dalam tubuh manusia.
Kecacingan merupakan penyakit rakyat dengan
prevalensi yang cukup tinggi terjadi pada anak – anak, yang menyebabkan
berbagai penyakit yang serius pada anak di daerah tropis, terutama pada
masyarakat sosial ekonomi rendah di pedesaan atau daerah pinggiran. Jenis
cacing yang sering ditemukan pada anak – anak yang cacing yang ditularkan
melalui tanah yang sesuai di indonesia, seperti Ascaris lumbricoides, Necator americanus dan Ancylostoma duodenale,
serta Trikuris trichiura.
Kecacingan adalah suatu penyakit yang ditimbulkan
oleh berbagai cacing yang berada dalam rongga usus yang menyebabkan terjadinya
infeksi dalam tubuh manusia. Cacing yang hidup dalam rongga usus adalah kelas
nematoda usus. Dari berbagai jenis nematoda usus terdapat sejumlah spesies
nematoda (cacing perut) yang secara alami memerlukan tanah untuk pertumbuhan
telurnya menjadi bentuk infektif dan penularannya terjadi dengan berbagai cara;
ada yang masuk secara aktif, ada pula yang tertelan atau dimasukkan oleh vektor
melalui gigitan yang ditemukan di tanah, jadi tanah bertindak sebagai hospes
perantara sehingga disebut “Soil Transmitted helminthes”.
“Soil Transmitted helminthes”(STH) merupakan infeksi
cacing usus yang ditularkan melalui tanah atau dikenal sebagai penyakit
cacingan. Spesies cacingan STH antara lain Ascaris
lumbricoides (cacing gelang),
Trikuris trichiura (cacing cambuk ), Necator americanus dan Ancylostoma duodenale
(cacing tambang). (Srisasi Ganda Husada, 2006:8).
Penyakit kecacingan tersebar luas, baik di pedasaan maupun
di perkotaan. Angka infeksi tinggi intensitas infeksi (jumlah cacing dalam
perut) berbeda (Depertemen Kesehatan RI,2008).
2.
Yang Berisiko Terinfeksi Cacingan
Yang beresiko terinfeksi cacingan adalah anak balita,
ibu hamil, anak sekolah dasar, usia remaja bahkan orang dewasa.
Banyak faktor yang mempengaruhi tingginya prevalensi kecacingan di
suatu daerah salah satu diantaranya adalah sanitasi lingkungan yang tidak baik,
pengetahuan yang kurang maupun perilaku yang tidak higenis sehingga mudah
terinfeksi telur cacing yang infektif. Dari berbagai riset yang telah
dilakukan, resik penularan penyakit dapat berkurang dengan adanya peningkatan
perilaku hidup bersih dan sehat, perilaku higiene, seperti cuci tangan pakai
sabun sebelum makan dan sehabis buang air besar. Perilaku cuci tangan pakai
sabun merupakan intervensi kesehatan yang paling murah dan efektif dibandingkan dengan hasil intervensi
kesehatan dengan cara lainnya dalam mengurangi resiko penularan berbagai penyakit
termasuk flu burung, kecacingan dan diera terutama pada anak sekolah. (Fewtrell
l, Kaufimann RB, et al, 2005).
3.
Faktor –Faktor Resiko Terhadap Kejadian Infeksi
Kecacingan
1)
Sanitasi Sekolah
Sanitasi
sekolah khususnya sekolah dasar sangat dimungkinkan menjadi salah satu penyebab
terjadinya infeksi cacing pada anak. Anak usia sekolah dasar merupakan anak
yang memilki frekuensi bermain relatif tinggi, baik di sekolah maupun di rumah.
Perilaku bermain tentunya tidak dapat dilepaskan dari terjadinya kontak dengan
tanah halaman sekolah. Kenyataan yang kita temui pada hampir sebagian besar
sekolah dasar di pedesaan adalah kondisi sanitasi kamar mandi yang cukup
memprihatinkan. Hampir dapat dipastikan perawatan kamar mandi ini kurang baik
sehingga area tanah di sekitarnya memilikisanitasi yang kurang baik. Kondisi
sanitasi sekolah yang kurang baik inilah yang dapat menyebabkan terjadinya
infeksi cacing pada anak sekolah dasar.
2)
Sanitasi Rumah
Lingkungan
rumah merupakan tempat berinteraksi paling lama dari anggota keluarga termasuk
di dalamnya adalah anak. Kondisi lingkungan rumah yang baik dalam hal sanitasi
akan membantu meminimalkan terjadimya gangguan kesehatan bagi penghunimya. Anak
usia sekolah merupakan anggota keluarga yang masih harus mendapatkan pengawasan
dalam beraktifitas kesehariannya. Dalam hal kesehatan, perilaku bermain
merupakan hal yang penting diperhatikan dalam kaitannya dengan kondisi sanitasi
lingkungan rumah. Kondisi sanitasi lingkungan rumah yang baik tentu akan
memberikan rasa aman dan nyaman bagi anak untuk bermain. Pada lingkungan
masyarakat pedesaan, seorang anak bermain di halaman rumah, di kebun bersama
teman sebaya tetangga merupakan hal yang sangat wajar terjadi. Dalam kaitannya
dengan kebiasaan anak bermain di kebun, perlu diwaspadai kemungkinan akan
terpapar oleh cacing yang memang membutuhkan media tanah untuk
perkembangbiakannya.
3) Keberadaan
Cacing Pada Tanah Halaman Rumah Dikaitkan Dengan Perilaku Bermain Anak Tanpa
Alas Kaki.
Tanah merupakan media yang mutlak diperlukan
oleh cacing tambang untuk melangsungkan proses perkembangannya. Telur cacing
yang keluar bersama feses pejamu (host) mengalami pematangan di tanah.
Setelah 24 jam telur akan berubah menjadi larva tingkat pertama (L1) yang selanjutnya
berkembang menjadi larva tingkat kedua (L2) dan akhirnya menjadi larva tingkat
ketiga (L3) yang bersifat infeksius. Larva tingkat ketiga dalam tanah selanjutnya akan menembus kulit
terutama kulit tangan dan kaki, meskipun dikatakan dapat juga menembus kulit
perioral dan transmamaria. Adanya kontak pejamu dengan larva yang infektif menyebabkan
terjadinya penularan. Anak usia sekolah merupakan kelompok rentan terinfeksi
cacing karena pola bermain anak pada
umumnya tidak dapat dilepaskan dari tanah sementara itu pada saat anak bermain seringkali
lupa menggunakan alas kaki. Maryanti (2006), yang melakukan studi di di Desa
Tegal Badeng Timur, Bali menemukan bahwa penggunaan alas kaki berhubungan
dengan kejadian infeksi cacing (p =
0,000 OR = 8,785).
Tanah halaman yang ada di sekeliling rumah
merupakan tempat bermain paling disukai bagi anak. Manakala pada tanah halaman
tersebut mengandung larva infektif cacing , peluang anak untuk terinfeksi
cacing tambang akan semakin besar. Ginting Limin (2005), mengatakan bahwa salah
satu faktor resiko infeksi kecacingan pada anak adalah perilaku anak itu
sendiri dalam bermain (OR = 20,9).
4) Kebiasaan
Defekasi Anggota Keluarga
Perilaku defekasi (buang air besar) yang kurang
baik dan di sembarangn tempat diduga menjadi faktor risiko dalam infeksi cacing.
Secara teoritik, telur cacing memerlukan media tanah untuk perkembangannya.
Adanya telur cacing pada tinja penderita yang melakukan aktifitas defekasi di
tanah terbuka semakin memperbesar peluang penularan larva cacing pada masyarakat
di sekitarnya. Di Kabupaten Jembrana Bali, ditemukan bahwa tempat kebiasaan
buang air besar merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan kejadian
infeksi cacing (p = 0,000 OR = 6,413).
Bagan :
Peranan Tinja dalam Penyebaran Penyakit
Sumber :
Soekidjo Notoatmojo, 2000
4. Faktor
Geografis yang Menjadi Faktor Resiko Infeksi Kecacingan
Faktor-faktor risiko yang lain (Risk
faktor) yang dapat mempengaruhi terjadinya penyakit cacingan yang
penyebarannya melalui tanah antara lain:
1)
Lingkungan
Penyakit cacingan biasanya terjadi
dilingkungan yang kumuh terutama didaerah kota atau daerah pinggiran. Jumlah
prevalensi Ascaris lumbricoides banyak ditemukan di daerah perkotaan,
dan jumlah prevalensi tertinggi ditemukan didaerah pinggiran atau pedesaan yang
masyarakatnya sebagian besar masih hidup dalam kekurangan.
2)
Tanah
Penyebaran penyakit cacingan dapat
melalui terkontaminasinya tanah dengan tinja yang mengandung telur Trichuris
trichiura, telur tumbuh dalam tanah liat yang lembab dan tanah dengan sushu
optimal ± 30-C. Tanah liat dengan kelembaban tinggi dan suhu yang berkisar
antara 250C-300C sangat baik untuk berkembangnya telur Ascaris lumbricoides sampai
menjadi bentuk infektif. Sedangakan untuk pertumbuhan larva Necator
americanus yaitu memerlukan suhu optimum 280C-320C dan tanah gembur seperti
pasir atau humus, dan untuk Ancylostoma duodenale lebih rendah yaitu
230C-250C tetapi umumnya lebih kuat.
3)
Iklim
Penyebaran Ascaris lumbricoides dan
Trichuris trichiura yaitu didaerah tropis karena tingkat kelembabannya
cukup tinggi. Sedangkan untuk Necator americanus dan Ancylostoma
duodenale penyebarannya paling banyak didaerah panas dan lembab. Lingkungan
yang paling cocok sebagai habitat dengan suhu dan kelembaban yang tinggi
terutama didaerah perkebunan dan pertambangan).
B. Tinjauan Tentang Cacing dan Cara Penularannya
Helmint (cacing)
adalah salah satu kelompok parasit yang dapat merugikan manusia. Berdasarkan
taksonomi, helmint dibagi menjadi dua yaitu:
1. Nemathelminthes
(cacing gilik)
2. Plathyhelminthes
(cacing pipih)
Cacing yang termasuk Nemathelminthes yaitu
kelas Nemotoda yang terdiri dari Nematode usus dan Nematoda jaringan.
Sedangkan yang termasuk Plathyhelminthes adalah kelas Trematoda dan
Cestoda.Namun yang akan dibahas di bawah ini adalah kelompok Nematoda
usus. Sebab sebagian besar dari Nematoda usus ini merupakan penyebab
kecacingan yang sering dijumpai pada masyarakat Indonesia khususnya pada usia
Sekolah Dasar. Diantara Nematoda usus ini yang sering menginfeksi
manusia ditularkan melalui tanah atau disebut ”soil transmitted helminths” yakni
:
a.
Ascaris lumbricoides (Cacing Gelang)
a) Ascaris
lumbricoides
Cacing Ascaris
lumbricoides salah satu penyebab terjadinya kecacingan pada manusia yang
biasa di sebut dengan askariasis. Cacing jenis ini banyak ditemukan di daerah
tropis dengan kelembaban tinggi. Di indonesia prevalensi askariasis tinggi,
terutama terjadi pada anak – anak. Frekuensinya antara 60% sampai 90%.
(Onggowaluyo, 2000).
b) Siklus
Hidup
Telur yang
infektif bila tertelan manusia menetas menjadi larva di usus halus. Larva
menembus dinding usus halus menuju pembuluh darah atau saluran di paru – paru
menembus dinding alveolus, masuk ke rongga alveolus dan naik ke trakea. Dari
trakea larva menuju ke faring dan menimbulkan iritasi. Penderita akan batuk
karena adanya rangsangan larva cacing. Larva di faring tertelan dan terbawa ke
osefagus, terakhir sampai di usus halus dan menjadi dewasa. Mulai dari telur
matang yang tertelan sampai menjadi cacing dewasa membutuhkan waktu kurang
lebih 2 bulan (Onggo Waluyo, 2000). Setelah dua bulan menginfeksi cacing –
cacing betina akan bertelur sekitar ± 20.000/hari (Uttiek, 2006).
Cacing yang
besar berukuran 20-25 cm tinggal menyebar di sepanjang usus kecil. Telur cacing
yang keluar bersama tinja dapat mencemari tanah di sekitar dan sayuran yang
tidak dimasak. Bila telur tertelan, setelah melalui berbagai tahap perkembangan
di dalam tubuh anak, cacing dewasa akan tinggal di usus kecil (D.B. Jelliffe,
1994).
Cacing betina
berukuran lebih besar jika dibandingkan dengan cacing jantan, dengan ukuran
panjangnya 20-35 cm. Pada cacing batina bagian posteriornya membulat dan lurus. Tubuhnya berwarna putih sampai
kekuning kecoklatan dan diselubungi oleh lapisan kutikula yang bergaris halus.
Cacing jantan panjangnya 10-30 cm, warna putih kemerah-merahan. Pada cacing
jantan ujung posteriornya lancip dan melengkung ke arah ventral dilengkapi
pepil kecil dan dua buah spekulum berukuran 2 mm.
Gambar : Cacing Ascaris Lumbricoides dewasa
Gambar : A. Betina dan B. Jantan
c) Gejala Klinis
Ascaris lumbricoides menimbulkan
gejala penyakit yang disebabkan oleh :
Ø Telur
: telur ascaris hidup infektif di dalam tanah dan telur adalah yang menjadi
infeksi terjadinya penyakit kecacingan apabila telur yang matang tertelan maka
akan terjadi kecacingan.
Ø Larva
: menimbulkan kerusakan pada paru – paru dalam menyebabkan “Loeffler Syndrom”
dengan gejala : demam, batuk, infiltrasi paru – paru, oedeme, asthma,
leucocytosis, ensionfilia.
Ø Cacing
dewasa : Penderitanya di sebut Ascariasis. Penderita dengan infeksi ringan
biasanya menjalani gejala gangguan usus ringan seperti : mual, nafsu makan
berkurang, diare, dan konstipsi. Pada infeksi berat terutama pada anak – anak
dapat terjadi malapsorpsi sehingga memperberat keadaan malnutrisi. Dalam sehari
setiap ekor cacing menghisap 0,14 gr karbohidrat dalam usus halus penderita.
d)
Diagnosis
Cara
menegakkan diagnosis adalah dengan pemeriksaan tinja secara langsung dan
pemeriksaan sampel tanah secara langsung. Dijumpainya telur dalam tinja
memastikan diagnosis askariasis. Cacing dewasa dapat keluar dengan sendirinya
melalui mulut karena muntah atau melalui anus.
b. Trichuris trichiura
a)
Trichuris
trichiura (Cacing Cambuk)
Dalam bahasa indonesia cacing ini dinamakan
cacing cambuk karena secara menyeluruh bentuknya seperti cambik. Sama halnya
dengan cacing gelang, cacing cambuk juga banyak ditemukan di daerah tropis
seperti di indonesia, bila cacing gelang senang tinggal di usus halus, maka
cacing cambuk betah tinggal di usus besar terkadang di usus buntu yaitu
trichuriasis. Hospes defenitif cacing
ini adalah manusia. Frekuensi di indonesia tinggi, terutama di daerah – daerah
pedesaan, frekuensi antara 30-90%. Angka infeksi tertinggi ditemukan pada
anak-anak (Onggowaluyo, 2000).
b)
Siklus
Hidup
Manusia akan terinfeksi cacing ini apabila
menelan telur matang dan telur itu menetes dalam usus halus. Untuk perkembangan
larvanya, cacing ini tidak mempunyai siklus paru. Cacing dewasa terdapat di
daerah kolon terutama sekum. Waktu yang diperlukan untuk pertumbuhan mulai dari
sampai menjadi dewasa bertelur adalah 1-3 bulan. Telurnya berbentuk bulat
panjang dan memiliki “sumbat” yang menonjol di kedua ujungnya, dan dilengkapi
dengan tutup (operkulum) dari bahan
mucus yang jernih. Telur berukuran 50-54x32 mikron. Kulit luar telur berwarna
kuning tengguli dan bagian dalam jernih. Cacing jantan panjangnya ± 4 cm, dan
cacing betina panjangnya ± 5 cm.
Gambar : Cacing Trichuris trichiura dewasa ( kiri : betina, kanan : jantan
c)
Gejala
Klinis
Infeksi berat terutama terjadi pada anak.
Cacing ini tersebar di seluruh kolon dan rektum. Cacing ini menyebabkan
pendarahan di tempat perlekatan dan dapat menimbulkan anemia. Pada anak,
infeksi terjadi menahun dan berat. Gejala – gejala yang terjadi yaitu diare yang diselingi
sindrom disentri, anemia, proplapsus rektal, dan berat badan turun.
(Onggowaluyo, 2000).
Gejala timbul bisa berupa penyakit usus buntu
bila ada cacing di bagian itu, nyeri perut, diare dengan mulas (lendir kental
dan licin), kotoran disertai sedikit darah, penurunan berat badan, terjadinya
proplapsus rektum (Penonjolan di daerah anus) (Utiek, 2006).
d)
Diagnosa
Diagnosis dapat ditegakkan dengan menemukan
telur dalam tinja atau dalam tanah dan atau menemukan cacing dewasa pada
penderita proplapsus rekti pada anak (Utiek, 2006).
c. Hookworm (Necator americanus dan Ancylostoma
duodenale)(Cacing Tambang)
a)
Hookworm
(Necator americanus dan Ancylostoma duodenale)
Ada dua spesies cacing tambang yang penting, Ancylostoma duodenale dan Necator americanus. Penyakit yang
disebabkan oleh parasit itu disebut Nekatoriosis dan Ankilostomiasi
(Onggowaluyo, 2000).
Cacing ini terdapat di seluruh daerah
khatulistiwa dan ditempat lain yang beriklim sama terutama di daerah
pertambangan dan perkebunan yang lingkungannya bersanitasi jelek. Di indonesia
frekuensinya tinggi ± 70% (Hidriani, 2003).
b)
Siklus
Hidup
Cacing dewasa hidup didalam usus halus manusia.
Cacing melekat infeksi pada mukosa dengan bagian mulutnya yang berkembang
dengan baik. Infeksi pada manusia dapat terjadi melalui penetrosi kulit oleh
larva filaniform yang ada di tanah. Telur kedua cacing ini keluar bersama-sama
dengan tinja. Di dalam tubuh manusia dengan waktu 1 – 1,5 hari telur menetas
dan mengeluarkan larva. Selanjutnya dalam waktu kira-kira 3 hari, larva
berkembang menjadi filaniform (berbentuk infektif). Larva filariform dapat bertahan di dalam tanah selama 7 – 8 minggu
(Onggowaluyo, 2000).
Larva cacing masuk ke dalam tubuh manusia
melalui kulit yang utuh, terutama melalui tangan ketika dia memegang
benda-benda yang mengandung larva. Dari pori-pori, larva cacing ini masuk ke
aliran darah, lalu ke jantung, paru-paru, dilanjutkan melalui tenggerokan sampai
usus. Umumnya cacing ini akan tinggal di
usus halus dan menjadi dewasa.
Seperti lazimnya cacing jenis lain, betinanya
akan bertelur dan telurnya akan keluar lagi bersama tinja. Di tanah, telur akan
menetas dalam 2 hari dan dalam 3 – 5 hari menjadi larva yang bersifat infektif
(Utiek, 2006).
Telur cacing tambang sulit dibedakan, karena
pabila ditemukan dalam tinja atau tanah tersebut disebut sebagai telur hookworm
atau telur cacing tambang. Bentuk telurnya oval, dinding tipis dan rata, warna
putih. Larva pada stadium rhabditiform dari cacing tambang sulit dibedakan.
Panjangnya 250 mikron, ekor runcing dan mulut terbuka. Larva pada stadium
filariform (infective larva) panjangnya 700 mikron, mulut tertutup ekor runcing
dan panjang oesophagus 1/3 dari panjang badan.
Cacing dewasa jantan berukur 8-11 mm sedangkan
betina berukuran 10 – 13 mm. Cacing Necator americanus betina dapat bertelur ±
9.000 butir/hari sedangkan cacing Ancylostoma duodenale betina dapat bertelur ±
10.000 butir/hari.
Gambar : Cacing Ancylostoma duodenale Dewasa.
c)
Gejala
Klinis
Larva :
setelah larva menembus kulit adalah timbulnya rasa gatal-gatal biasa. Apabila
larva menembus kulit dalam jumlah banyak rasa gatal semakin hebat dan
kemungkinan terjadi infeksi sekunder apabila larva mengadakan migrasi ke paru
maka dapat menyebabkan pneumonitis yang tingkat gejalanya tergantung pada
jumlah larva tersebut.
Cacing
dewasa : gejala klinis yang disebabkan oleh cacing tambang dewasa dapat berupa
jaringan usus, gangguan gizi, dan kehilangan darah.
Pada infeksi akut yang disertai jumlah cacing
yang banyak, penderita mengalami lemah badan, nausea, sakit perut, lesu, pucat
dan kadang – kadang diare dengan tinja berwarna merah sampai hitam (tergantung
jumlah darah yang keluar).
d)
Diagnosa
Menurut metode Harada Mori diagnosis pasti
infeksi cacing tambang ditegakan dengan menemukan telur dan larva dalam tinja dan tanah yang
dibiarkan. Skala beratnya infeksi cacing tambang diketahui berdasarkan jumlah
telur yang ditemukan dalam tinja.
C.
Kerangka
Teori
Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah
dipaparkan, maka dapat disusun kerangka teori sebagai berikut :
D. Kerangka
Konsep
Kerangka konsep penelitian pada dasarnya adalah
kerangka hubungan antara konsep-konsep yang ingin diamati atau diukur melalui
penelitian-penelitian yang akan dilakukan.
E. Hipotesis
1. Ada hubungan Ascaris lumbricoides dengan kejadian kecacingan di SDN 03 Bambalamotu Kabupaten Mamuju Utara.
2. Ada hubungan Trichuris
trichiura dengan kejadian
kecacingan di SDN 03
Bambalamotu Kabupaten Mamuju Utara.
3. Ada hubungan Ancylostoma
duodenale dengan kejadian
kecacingan di SDN 03
Bambalamotu Kabupaten Mamuju Utara.
BAB III
METODE PENELITIAN
A.
Jenis
Penelitian dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian observasi
yang bersifat analitik untuk mengetahui hubungan kejadian kandungan cacing
tanah sebagai faktor resiko kejadian kecacingan pada anak usia 7 – 8 tahun di
SDN 03 Bambalamotu Kabupaten Mamuju Utara. Sedangkan rancangan penelitian
dilakukan adalah cross sectional.
B.
Lokasi
dan Waktu Penelitian
a.
Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di SDN 03 Kecamatan
Bambalamotu Kabupaten Mamuju Utara.
b.
Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan juni
tahun 2012.
C.
Populasi
dan Sampel
a.
Populasi
Populasi penelitian ini adalah semua
anak sekolah dasar usia 7 – 8 tahun yang terdapat di SDN 03 Bambalamotu
Kecamatan Bambalamotu Kabupaten Mamuju Utara adalah sebanyak 250 orang.
b.
Sampel
Sampel
penelitian ini adalah semua anak sekolah dasar usia 7 – 8 tahun yang besar
sampelnya di hitung berdasarkan rumus.
Pengambilan
sampel dilakukan dengan cara acak. Besar sampel ditentukan dengan rumus
(Notoatmojo, 2002).
n= N
1+N (d)2
n= 250
1+250 (0,1)2
n=
71,42
n=
71 orang
keterangan
:
n
= Besar sampel
N=
Besar populasi
d=
Tingkat Kepercayaan atau ketepatan yang
diinginkan (0,05)
Dari hasil perhitungan rumus di atas
diperoleh besar sampel sebanyak 71,42 (dibulatkan menjadi 71 anak sekolah dasar
7 – 8 tahun).
D.
Sumber
Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian
ini mencakup data primer dan data sekunder.
a. Data
Primer
Data Primer mencakup
data :
-
Identitas anak sekolah dasar diperoleh
dari sekolah yang bersangkutan.
-
Untuk melihat adanya kecacingan pada
anak dengan pemeriksaan telur cacing pada feses anak yang diambil oleh ibu anak
dan diletakkan pada pot kecil yang diberikan pada saat wawancara dan di periksa
sendiri di laboratorium P2B2 Donggala menggunakan miskroskop.
-
Untuk melihat kandungan cacing tanah
sebagai faktor kecacingan dengan melakukan pemeriksaan tanah pada sekolah dan
tanah di halaman anak sekolah , sampel tanah diambil pada saat survei di
sekolah dan pada saat wawancara di rumah anak dan diperiksa sendiri di
laboratorium kesehatan lingkungan.
b. Data
Sekunder
Data
sekunder diperoleh dari Puskesmas Bambalamotu mengenai data – data jumlah
seluruh anak yang mengalami kecacingan, serta data mengenai kecacingan di
kecamatan tersebut.
E.
Defenisis
Opersional, Cara Pengukuran, dan Alat Ukur
Defenisi
operasional masing – masing variabel penelitian, sebagai berikut :
Tabel 1. Defenisi Operasional, Cara
Pengukuran Dan Alat Ukur
No.
|
Variabel
|
Indikator
variabel
|
Cara
mengukur
|
Skala
|
Klasifikasi
|
1.
|
Dependen
Keberadaan
telur cacing dalam tanah
|
Berdasarkan
pemeriksaan
Feses
|
Uji
laboratorium
|
Nominal
|
(+)
(-)
|
2.
|
Independen
Keberadaan
telur cacing dalam feses
|
Berdasarkan
pemeriksaan Halaman sekolah dan halaman rumah
|
Uji
laboratorium
|
nominal
|
1.A
2.TA
|
F.
Pengumpulan
Data
Instrumen untuk mengumpulkan data
responden ialah dengan menggunakan kuesioner. Teknik pengumpulan data yang digunakan
dalam penelitian ini ada beberapa cara, yaitu :
1. Wawancara
Wawancara menggunakan kuesioner,
dilakukan untuk menggali berbagai informasi terkait dengan variabel. Daftar
pertanyaan dirancang untuk menggali informasi untuk pengambilan data survei infeksi kecacingan.
2. Metode
Observasi
Observasi dilakukan oleh peneliti secara
formal dan informal untuk mengamati kondisi lingkungan fisik di lokasi penelitian,
serta mengamati perilaku masyarakat yang terkait dengan faktor risiko infeksi
kecacingan guna mendapatkan informasi tambahan dari hasil wawancara.
3. Metode
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk
mengetahui kondisi infeksi kecacingan pada anak sekolah. Metode pemeriksaan laboratorium
yang dipilih dalam penelitian ini adalah metode pemeriksaan telur cacing pada
tanah di sekolah dan di halaman rumah anak, sementara untuk pemeriksaan sampel feses
dilakukan dengan metode Katho Katz.
1) Alat
dan bahan pemeriksaan :
Peralatan yang digunakan dalam
pemeriksaan sampel tanah di antaranya adalah :
·
Tabung sentrifuse,
·
Rak tabung reaksi,
·
Saringan kawat kasa,
·
Batang pengaduk,
·
Kaca obyek,
·
Kaca penutup degk glass,
·
Sentrifuse,
·
Mikroskup.
Bahan
yang diperlukan adalah :
·
Aquades,
·
Larutan Hipoklorit 30 %,
·
MgSO4 282 gr/liter,
·
Eosin.
2) Prosedur
kerja :
a) Disiapkan
seluruh alat dan bahan pemeriksaan.
b) Saring
sampel tanah dengan saringan kawat kasa.
c) Timbang
sebanyak 5 gram.
d) Masukkan
dalam tabung sentrifuse, minimal dua tabung digunakan dalam satu sampel tanah.
e) Tambahkan
larutan hipoklorit sebanyak ¾ volume tabung.
f) Sentrifuse
selama 2 menit lalu buang supernatan.
g) Tambahkan
aquades sebanyak ¾ volume tabung.
h) Sentrifuse
selama 2 menit lalu buang supernatan.
i)
Tambahkan larutan MgSO4 ¾ volume tabung.
j)
Aduk dengan batang pengaduk hingga
homogen, kemudian sentrifuse.
k) Tambahkan larutan MgSO4 hingga mencapai permukaan tabung. Tiap tabung
ditutup dengan deck glass. Jika ada telur cacing dalam tabung tersebut. Maka
telur akan mengapung dan menempel pada deck glass.
l)
Pindahkan deck glass ke atas kaca benda
(objek glass), jika perlu tambahkan eosin sebagai pewarna.
m) Periksa
di bawah mikroskop.
3) Alat
dan Bahan Pemeriksaan :
Peralatan yang digunakan dalam
pemeriksaan feese di antaranya adalah :
·
Lidi,
·
Kawat baja,
·
Objek glass,
·
Karton kato,
·
Cellophan tape,
·
Kertas tisu, dan
·
Mikroskup.
Bahan yang diperlukan adalah :
·
Feses,
·
Malachite – green glyserin.
4) Prosedur
Kerja :
a) Feses
diambil deri pot menggunakan lidi sebesar ibu jari.
b) Kemudian,
disaring dengan kawat baja
c) Hasil
penyaringan diambil untuk di buat sedian pada objek glass dengan menggunakan
karton yang telah dilubangi (karton kato)
d) Kemudian,
di tutup dengan cellophan tape yang telah direndam pewarna malachite-green
glyserin
e) Sedian
diratakan, dan diletakkan terbalik diatas kertas tisu agar cairan pewarna yang
berlebihan dapat terserap.
f) Lihat
pada mikroskop apakah terdapat telur cacing.
5) Interpretasi
hasil :
Interpretasi hasil merupakan data
kualitatif yang dinyatakan dengan :
Positif
: apabila ditemukan telur atau larva cacing di tanah halaman sekolah dan halaman rumah responden .
Negatif
: apabila tidak ditemukan telur atau larva cacing di tanah halaman sekolah dan
halaman rumah responden.
G.
Rancangan
Pengolahan Data
Pada variabel terikat, kejadian infeksi kecacingan
pada anak sekolah dasar di SDN 03 Bambalamotu yang diperoleh dengan hasil
pemeriksaan laboratorium dikategorikan menjadi dua, dimana apabila ditemukan
telur cacing dikategorikan “positif” sedangkan apabila tidak ditemukan
dikategorikan “negatif”.
H.
Analisis
Data
Data
yang terkumpul dilakukan pemeriksaan data, pengkodean, rekapitulasi dan
tabulasi, kemudian dilakukan analisis statistik dengan menggunakan SPSS versi
16,0. Adapun rancangan analisis statistik yang akan digunakan : Analisis
bivariat, digunakan untuk mengetahui besar resiko (OR) variabel bebas dengan
variabel terikat secara sendiri – sendiri dengan menggunakan uji Chi Square.
I.
Rencana
Kegiatan
Tahapan
rencana kegiatan penelitian dan penulisan dapat di rangkum dalam bagan sebagai
berikut :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar