Sabtu, 07 Juli 2012

Hubungan kandungan cacing tanah dengan kejadian kecacingan


               BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Anak sekolah merupakan aset atau modal utama pembangunan di masa depan yang perlu dijaga, ditingkatkan dan dilindungi kesehatannya. Sekolah selain berfungsi sebagai tempat pembelajaran, juga dapat menjadi ancaman penularan penyakit jika tidak dikelola dengan baik. Lebih dari itu, usia sekolah bagi anak juga merupakan masa rawan terserang berbagai penyakit. (Depkes RI, 2007).
Salah satu penyakit yang banyak diderita oleh anak-anak, khususnya usia sekolah dasar adalah penyakit infeksi kecacingan, yaitu sekitar 40-60 %. (Depkes RI, 2005). Penyakit infeksi kecacingan ini masih merupakan problema kesehatan dan ekonomi yang utama pada masyarakat, pekerja maupun individu. Diseluruh dunia diperkirakan masih ditemukan sebanyak 300 juta kasus penyakit kecacingan, baik infestasi tunggal maupun infestasi campuran lebih ciri satu jenis cacing diantaranya adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura dan cacing tambang. (Dewayani ,2004).
Anak sekolah adalah salah satu penderita penyakit kecacingan yang prevalensinya tinggi dikarenakan usia anak sekolah memiliki banyak faktor resiko terinfeksi penyakit kecacingan di mulai dari faktor bermain anak, kebersihan diri, kebersihan lingkungan, kebiasaan mencuci tangan sebelum makan yang masih kuramg dan kurangnya perhatian orang tua.
Cacingan adalah suatu penyakit yang di timbulkan oleh berbagai cacing yang berada dalam rongga usus yang menyebabkan terjadinya infeksi dalam tubuh manusia. Cacing yang hidup dalam rongga usus adalah kelas Nematoda usus. Dari berbagai jenis Nematoda usus yang terdapat sejumlah spesies Nematoda (cacing perut) yang secara alami memerlukan tanah untuk pertumbuhan telurnya menjadi bentuk infektif dan penularannya terjadi dengan berbagai cara ; ada yang masuk secara aktif, ada pula yang tertelan atau dimasukan oleh vektor melalui gigitan yang ditemukan di tanah, jadi tanah bertindak sebagai hospes perantara sehingga di sebut “soil transmitted helminthes”
Menurut data WHO dalam Nevi (2006), seperempat penduduk dunia terinfeksi kecacingan kronis. Diperkirakan 1,4 milyar orang kecacingan Ascaris lumbricoides (cacing gelang), 1 milyar orang oleh Trichuris trichiura (cacing cambuk) dan 1,3 milyar orang kecacingan Ancylostoma duodenale (cacing tambang).
Sebagian besar penderita kecacingan tinggal di negara-negara beriklim tropis seperti Indonesia. Prevalensi penyakit kecacingan di Indonesia tergolong cukup tinggi, yaitu 70%-90% dan sebagian besar yang menjadi korban adalah anak-anak usia sekolah, terutama sekolah dasar dan golongan penduduk yang kurang mampu.
Hasil survei di 10 propinsi di tahun 2005 dengan sasaran anak sekolah dasar sangat bervariasi antara 1,37 % sampai 77,14 % dengan prevalensi tertinggi di Propinsi Banten dan terendah di Propinsi Kalimantan Selatan. Jenis cacing penyebab sebagian besar adalah Trichuris trichiura (cacing cambuk) sebesar 16,52%, dilanjutkan Ascaris lumbricoides (cacing gelang) sebesar 12,38 % dan terkecil adalah Ancylostoma duodenale (cacing tambang)1,38 % (Depkes, 2006).
Gambaran penyakit cacing pada anak Sekolah Dasar di Sulawesi Barat selama tahun 2006-2007. Metode yang digunakan adalah analisis deskriptis dari hasil pengambilan sampel faeces anak SD dari tahun 2006-2007 dan laporan-laporan hasil intervensi pencegahan dan penanggulangan penyakit kecacingan. Hasilnya adalah  presentase positif faeces kecacingan mengalami penurunan dari tahun 2006 sebesar 34 % menjadi 13 % ditahun 2007, penurunan ini karena telah dilakukan intervensi berupa pemberian obat cacing ( obat pirantel pamoat 10 mg / kg BB dan albendazole 10 mg/kg BB ). Pada tahun 2008 dilakukan kembali pengambilan sampel feaces pada dua kabupaten di Sulawesi Barat yaitu Kabupaten Polewali Mandar yang positif kecacingan 61 %, Kabupaten Mamuju Utara sebesar 45 %. Rata – rata tingkat kecacingan di Sulawesi Barat adalah 53 %. (DINKES SULBAR 2007).

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah ‘’Bagaimana Hubungan Kandungan Cacing Tanah Dengan Kejadian Kecacingan Di SDN 03 Bambalamotu Kabupaten Mamuju Utara”?


C.    Tujuan Penelitian
a.       Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan kandungan cacing tanah dengan kejadian kecacingan di SDN 03 Bambalamotu Kabupaten Mamuju Utara.
b.      Tujuan Khusus
1.      Untuk mengetahui hubungan Ascaris lumbricoides dengan kejadian kecacingan di SDN 03 Bambalamotu Kabupaten Mamuju Utara.
2.      Untuk mengetahui hubungan Trichuris trichiura dengan kejadian kecacingan di SDN 03 Bambalamotu Kabupaten Mamuju Utara.
3.      Untuk mengetahui hubungan Ancylostoma duodenale dengan kejadian kecacingan di SDN 03 Bambalamotu Kabupaten Mamuju Utara.

D.    Mamfaat Penelitian
a.       Bagi Pemerintah
Sebagai tambahan informasi dan masukan dalam upaya pencegahan masalah kesehatan khususnya penyakit kecacingan.

b.      Bagi Masyarakat
Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai faktor resiko yang berpengaruh terhadap terjadinya infeksi kecacingan, sehingga masyarakat dapat mengetahui dan melakukan upaya pencegahan.


c.       Bagi Peneliti
Dapat menjadi pengalaman berharga dalam memperluas wawasan dan pengetahuan.


















    

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.    Tinjauan Kandungan Cacing Tanah
1.      Pengertian kecacingan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001) dengan memberi imbuhan ke an akhiran an terhadap suatu kata benda maka terhadap kata tersebut mengandung arti menderita atau mengalami kejadian. Dengan demikian, kata kecacingan berarti seseorang yang mengalami kecacingan. Sedangkan Menurut Dinkes Jawa Timur (2003) Kecacingan ialah penyakit yang disebabkan karena masuknya parasit (berupa cacing) ke dalam tubuh manusia.
Kecacingan merupakan penyakit rakyat dengan prevalensi yang cukup tinggi terjadi pada anak – anak, yang menyebabkan berbagai penyakit yang serius pada anak di daerah tropis, terutama pada masyarakat sosial ekonomi rendah di pedesaan atau daerah pinggiran. Jenis cacing yang sering ditemukan pada anak – anak yang cacing yang ditularkan melalui tanah yang sesuai di indonesia, seperti Ascaris lumbricoides, Necator americanus dan Ancylostoma duodenale, serta Trikuris trichiura.
Kecacingan adalah suatu penyakit yang ditimbulkan oleh berbagai cacing yang berada dalam rongga usus yang menyebabkan terjadinya infeksi dalam tubuh manusia. Cacing yang hidup dalam rongga usus adalah kelas nematoda usus. Dari berbagai jenis nematoda usus terdapat sejumlah spesies nematoda (cacing perut) yang secara alami memerlukan tanah untuk pertumbuhan telurnya menjadi bentuk infektif dan penularannya terjadi dengan berbagai cara; ada yang masuk secara aktif, ada pula yang tertelan atau dimasukkan oleh vektor melalui gigitan yang ditemukan di tanah, jadi tanah bertindak sebagai hospes perantara sehingga disebut “Soil Transmitted helminthes”.
“Soil Transmitted helminthes”(STH) merupakan infeksi cacing usus yang ditularkan melalui tanah atau dikenal sebagai penyakit cacingan. Spesies cacingan STH antara lain Ascaris lumbricoides (cacing gelang), Trikuris trichiura (cacing cambuk ),  Necator americanus dan Ancylostoma duodenale (cacing tambang). (Srisasi Ganda Husada, 2006:8).
Penyakit kecacingan tersebar luas, baik di pedasaan maupun di perkotaan. Angka infeksi tinggi intensitas infeksi (jumlah cacing dalam perut) berbeda (Depertemen Kesehatan RI,2008).

2.      Yang Berisiko Terinfeksi Cacingan
Yang beresiko terinfeksi cacingan adalah anak balita, ibu hamil, anak sekolah dasar, usia remaja bahkan orang dewasa.
Banyak faktor yang mempengaruhi tingginya prevalensi kecacingan di suatu daerah salah satu diantaranya adalah sanitasi lingkungan yang tidak baik, pengetahuan yang kurang maupun perilaku yang tidak higenis sehingga mudah terinfeksi telur cacing yang infektif. Dari berbagai riset yang telah dilakukan, resik penularan penyakit dapat berkurang dengan adanya peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat, perilaku higiene, seperti cuci tangan pakai sabun sebelum makan dan sehabis buang air besar. Perilaku cuci tangan pakai sabun merupakan intervensi kesehatan yang paling murah dan  efektif dibandingkan dengan hasil intervensi kesehatan dengan cara lainnya dalam mengurangi resiko penularan berbagai penyakit termasuk flu burung, kecacingan dan diera terutama pada anak sekolah. (Fewtrell l, Kaufimann RB, et al, 2005).

3.      Faktor –Faktor Resiko Terhadap Kejadian Infeksi Kecacingan
1)      Sanitasi Sekolah
Sanitasi sekolah khususnya sekolah dasar sangat dimungkinkan menjadi salah satu penyebab terjadinya infeksi cacing pada anak. Anak usia sekolah dasar merupakan anak yang memilki frekuensi bermain relatif tinggi, baik di sekolah maupun di rumah. Perilaku bermain tentunya tidak dapat dilepaskan dari terjadinya kontak dengan tanah halaman sekolah. Kenyataan yang kita temui pada hampir sebagian besar sekolah dasar di pedesaan adalah kondisi sanitasi kamar mandi yang cukup memprihatinkan. Hampir dapat dipastikan perawatan kamar mandi ini kurang baik sehingga area tanah di sekitarnya memilikisanitasi yang kurang baik. Kondisi sanitasi sekolah yang kurang baik inilah yang dapat menyebabkan terjadinya infeksi cacing pada anak sekolah dasar.
2)      Sanitasi Rumah
Lingkungan rumah merupakan tempat berinteraksi paling lama dari anggota keluarga termasuk di dalamnya adalah anak. Kondisi lingkungan rumah yang baik dalam hal sanitasi akan membantu meminimalkan terjadimya gangguan kesehatan bagi penghunimya. Anak usia sekolah merupakan anggota keluarga yang masih harus mendapatkan pengawasan dalam beraktifitas kesehariannya. Dalam hal kesehatan, perilaku bermain merupakan hal yang penting diperhatikan dalam kaitannya dengan kondisi sanitasi lingkungan rumah. Kondisi sanitasi lingkungan rumah yang baik tentu akan memberikan rasa aman dan nyaman bagi anak untuk bermain. Pada lingkungan masyarakat pedesaan, seorang anak bermain di halaman rumah, di kebun bersama teman sebaya tetangga merupakan hal yang sangat wajar terjadi. Dalam kaitannya dengan kebiasaan anak bermain di kebun, perlu diwaspadai kemungkinan akan terpapar oleh cacing yang memang membutuhkan media tanah untuk perkembangbiakannya.

3)      Keberadaan Cacing Pada Tanah Halaman Rumah Dikaitkan Dengan Perilaku Bermain Anak Tanpa Alas Kaki.
Tanah merupakan media yang mutlak diperlukan oleh cacing tambang untuk melangsungkan proses perkembangannya. Telur cacing yang keluar bersama feses pejamu (host) mengalami pematangan di tanah. Setelah 24 jam telur akan berubah menjadi larva tingkat pertama (L1) yang selanjutnya berkembang menjadi larva tingkat kedua (L2) dan akhirnya menjadi larva tingkat ketiga (L3) yang bersifat infeksius. Larva tingkat ketiga  dalam tanah selanjutnya akan menembus kulit terutama kulit tangan dan kaki, meskipun dikatakan dapat juga menembus kulit perioral dan transmamaria. Adanya kontak pejamu dengan larva yang infektif menyebabkan terjadinya penularan. Anak usia sekolah merupakan kelompok rentan terinfeksi cacing  karena pola bermain anak pada umumnya tidak dapat dilepaskan dari tanah sementara itu pada saat anak bermain seringkali lupa menggunakan alas kaki. Maryanti (2006), yang melakukan studi di di Desa Tegal Badeng Timur, Bali menemukan bahwa penggunaan alas kaki berhubungan dengan kejadian infeksi cacing  (p = 0,000 OR = 8,785).
Tanah halaman yang ada di sekeliling rumah merupakan tempat bermain paling disukai bagi anak. Manakala pada tanah halaman tersebut mengandung larva infektif cacing , peluang anak untuk terinfeksi cacing tambang akan semakin besar. Ginting Limin (2005), mengatakan bahwa salah satu faktor resiko infeksi kecacingan pada anak adalah perilaku anak itu sendiri dalam bermain (OR = 20,9).

4)      Kebiasaan Defekasi Anggota Keluarga
Perilaku defekasi (buang air besar) yang kurang baik dan di sembarangn tempat diduga menjadi faktor risiko dalam infeksi cacing. Secara teoritik, telur cacing memerlukan media tanah untuk perkembangannya. Adanya telur cacing pada tinja penderita yang melakukan aktifitas defekasi di tanah terbuka semakin memperbesar peluang penularan larva cacing pada masyarakat di sekitarnya. Di Kabupaten Jembrana Bali, ditemukan bahwa tempat kebiasaan buang air besar merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan kejadian infeksi cacing (p = 0,000 OR = 6,413).
 














Bagan : Peranan Tinja dalam Penyebaran Penyakit
Sumber : Soekidjo Notoatmojo, 2000

4.      Faktor Geografis yang Menjadi Faktor Resiko Infeksi Kecacingan
Faktor-faktor risiko yang lain (Risk faktor) yang dapat mempengaruhi terjadinya penyakit cacingan yang penyebarannya melalui tanah antara lain:
1)      Lingkungan
Penyakit cacingan biasanya terjadi dilingkungan yang kumuh terutama didaerah kota atau daerah pinggiran. Jumlah prevalensi Ascaris lumbricoides banyak ditemukan di daerah perkotaan, dan jumlah prevalensi tertinggi ditemukan didaerah pinggiran atau pedesaan yang masyarakatnya sebagian besar masih hidup dalam kekurangan.
2)      Tanah
Penyebaran penyakit cacingan dapat melalui terkontaminasinya tanah dengan tinja yang mengandung telur Trichuris trichiura, telur tumbuh dalam tanah liat yang lembab dan tanah dengan sushu optimal ± 30-C. Tanah liat dengan kelembaban tinggi dan suhu yang berkisar antara 250C-300C sangat baik untuk berkembangnya telur Ascaris lumbricoides sampai menjadi bentuk infektif. Sedangakan untuk pertumbuhan larva Necator americanus yaitu memerlukan suhu optimum 280C-320C dan tanah gembur seperti pasir atau humus, dan untuk Ancylostoma duodenale lebih rendah yaitu 230C-250C tetapi umumnya lebih kuat.
3)      Iklim
Penyebaran Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura yaitu didaerah tropis karena tingkat kelembabannya cukup tinggi. Sedangkan untuk Necator americanus dan Ancylostoma duodenale penyebarannya paling banyak didaerah panas dan lembab. Lingkungan yang paling cocok sebagai habitat dengan suhu dan kelembaban yang tinggi terutama didaerah perkebunan dan pertambangan).

B.     Tinjauan Tentang Cacing dan Cara Penularannya
Helmint (cacing) adalah salah satu kelompok parasit yang dapat merugikan manusia. Berdasarkan taksonomi, helmint dibagi menjadi dua yaitu:
1. Nemathelminthes (cacing gilik)
2. Plathyhelminthes (cacing pipih)
Cacing yang termasuk Nemathelminthes yaitu kelas Nemotoda yang terdiri dari Nematode usus dan Nematoda jaringan. Sedangkan yang termasuk Plathyhelminthes adalah kelas Trematoda dan Cestoda.Namun yang akan dibahas di bawah ini adalah kelompok Nematoda usus. Sebab sebagian besar dari Nematoda usus ini merupakan penyebab kecacingan yang sering dijumpai pada masyarakat Indonesia khususnya pada usia Sekolah Dasar. Diantara Nematoda usus ini yang sering menginfeksi manusia ditularkan melalui tanah atau disebut ”soil transmitted helminths” yakni :
a.       Ascaris lumbricoides (Cacing Gelang)
a)      Ascaris lumbricoides
Cacing Ascaris lumbricoides salah satu penyebab terjadinya kecacingan pada manusia yang biasa di sebut dengan askariasis. Cacing jenis ini banyak ditemukan di daerah tropis dengan kelembaban tinggi. Di indonesia prevalensi askariasis tinggi, terutama terjadi pada anak – anak. Frekuensinya antara 60% sampai 90%. (Onggowaluyo, 2000).

b)      Siklus Hidup
Telur yang infektif bila tertelan manusia menetas menjadi larva di usus halus. Larva menembus dinding usus halus menuju pembuluh darah atau saluran di paru – paru menembus dinding alveolus, masuk ke rongga alveolus dan naik ke trakea. Dari trakea larva menuju ke faring dan menimbulkan iritasi. Penderita akan batuk karena adanya rangsangan larva cacing. Larva di faring tertelan dan terbawa ke osefagus, terakhir sampai di usus halus dan menjadi dewasa. Mulai dari telur matang yang tertelan sampai menjadi cacing dewasa membutuhkan waktu kurang lebih 2 bulan (Onggo Waluyo, 2000). Setelah dua bulan menginfeksi cacing – cacing betina akan bertelur sekitar ± 20.000/hari (Uttiek, 2006).
Cacing yang besar berukuran 20-25 cm tinggal menyebar di sepanjang usus kecil. Telur cacing yang keluar bersama tinja dapat mencemari tanah di sekitar dan sayuran yang tidak dimasak. Bila telur tertelan, setelah melalui berbagai tahap perkembangan di dalam tubuh anak, cacing dewasa akan tinggal di usus kecil (D.B. Jelliffe, 1994).
Cacing betina berukuran lebih besar jika dibandingkan dengan cacing jantan, dengan ukuran panjangnya 20-35 cm. Pada cacing batina bagian posteriornya  membulat dan lurus. Tubuhnya berwarna putih sampai kekuning kecoklatan dan diselubungi oleh lapisan kutikula yang bergaris halus. Cacing jantan panjangnya 10-30 cm, warna putih kemerah-merahan. Pada cacing jantan ujung posteriornya lancip dan melengkung ke arah ventral dilengkapi pepil kecil dan dua buah spekulum berukuran 2 mm.
Gambar : Cacing Ascaris Lumbricoides dewasa
Gambar : A. Betina dan B. Jantan
c)      Gejala Klinis
Ascaris lumbricoides menimbulkan gejala penyakit yang disebabkan oleh :
Ø  Telur : telur ascaris hidup infektif di dalam tanah dan telur adalah yang menjadi infeksi terjadinya penyakit kecacingan apabila telur yang matang tertelan maka akan terjadi kecacingan.
Ø  Larva : menimbulkan kerusakan pada paru – paru dalam menyebabkan “Loeffler Syndrom” dengan gejala : demam, batuk, infiltrasi paru – paru, oedeme, asthma, leucocytosis, ensionfilia.
Ø  Cacing dewasa : Penderitanya di sebut Ascariasis. Penderita dengan infeksi ringan biasanya menjalani gejala gangguan usus ringan seperti : mual, nafsu makan berkurang, diare, dan konstipsi. Pada infeksi berat terutama pada anak – anak dapat terjadi malapsorpsi sehingga memperberat keadaan malnutrisi. Dalam sehari setiap ekor cacing menghisap 0,14 gr karbohidrat dalam usus halus penderita.
d)      Diagnosis
Cara menegakkan diagnosis adalah dengan pemeriksaan tinja secara langsung dan pemeriksaan sampel tanah secara langsung. Dijumpainya telur dalam tinja memastikan diagnosis askariasis. Cacing dewasa dapat keluar dengan sendirinya melalui mulut karena muntah atau melalui anus.

b.      Trichuris trichiura
a)      Trichuris trichiura (Cacing Cambuk)
Dalam bahasa indonesia cacing ini dinamakan cacing cambuk karena secara menyeluruh bentuknya seperti cambik. Sama halnya dengan cacing gelang, cacing cambuk juga banyak ditemukan di daerah tropis seperti di indonesia, bila cacing gelang senang tinggal di usus halus, maka cacing cambuk betah tinggal di usus besar terkadang di usus buntu yaitu trichuriasis. Hospes defenitif  cacing ini adalah manusia. Frekuensi di indonesia tinggi, terutama di daerah – daerah pedesaan, frekuensi antara 30-90%. Angka infeksi tertinggi ditemukan pada anak-anak (Onggowaluyo, 2000).       
b)      Siklus Hidup
Manusia akan terinfeksi cacing ini apabila menelan telur matang dan telur itu menetes dalam usus halus. Untuk perkembangan larvanya, cacing ini tidak mempunyai siklus paru. Cacing dewasa terdapat di daerah kolon terutama sekum. Waktu yang diperlukan untuk pertumbuhan mulai dari sampai menjadi dewasa bertelur adalah 1-3 bulan. Telurnya berbentuk bulat panjang dan memiliki “sumbat” yang menonjol di kedua ujungnya, dan dilengkapi dengan tutup (operkulum) dari bahan mucus yang jernih. Telur berukuran 50-54x32 mikron. Kulit luar telur berwarna kuning tengguli dan bagian dalam jernih. Cacing jantan panjangnya ± 4 cm, dan cacing betina panjangnya ± 5 cm.
      Gambar : Cacing Trichuris trichiura dewasa ( kiri : betina, kanan : jantan


c)      Gejala Klinis
Infeksi berat terutama terjadi pada anak. Cacing ini tersebar di seluruh kolon dan rektum. Cacing ini menyebabkan pendarahan di tempat perlekatan dan dapat menimbulkan anemia. Pada anak, infeksi terjadi menahun dan berat. Gejala – gejala  yang terjadi yaitu diare yang diselingi sindrom disentri, anemia, proplapsus rektal, dan berat badan turun. (Onggowaluyo, 2000).
Gejala timbul bisa berupa penyakit usus buntu bila ada cacing di bagian itu, nyeri perut, diare dengan mulas (lendir kental dan licin), kotoran disertai sedikit darah, penurunan berat badan, terjadinya proplapsus rektum (Penonjolan di daerah anus) (Utiek, 2006).
d)      Diagnosa
Diagnosis dapat ditegakkan dengan menemukan telur dalam tinja atau dalam tanah dan atau menemukan cacing dewasa pada penderita proplapsus rekti pada anak (Utiek, 2006).
c.       Hookworm (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale)(Cacing Tambang)
a)      Hookworm (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale)
Ada dua spesies cacing tambang yang penting, Ancylostoma duodenale dan Necator americanus. Penyakit yang disebabkan oleh parasit itu disebut Nekatoriosis dan Ankilostomiasi (Onggowaluyo, 2000).
Cacing ini terdapat di seluruh daerah khatulistiwa dan ditempat lain yang beriklim sama terutama di daerah pertambangan dan perkebunan yang lingkungannya bersanitasi jelek. Di indonesia frekuensinya tinggi ± 70% (Hidriani, 2003).
b)      Siklus Hidup
Cacing dewasa hidup didalam usus halus manusia. Cacing melekat infeksi pada mukosa dengan bagian mulutnya yang berkembang dengan baik. Infeksi pada manusia dapat terjadi melalui penetrosi kulit oleh larva filaniform yang ada di tanah. Telur kedua cacing ini keluar bersama-sama dengan tinja. Di dalam tubuh manusia dengan waktu 1 – 1,5 hari telur menetas dan mengeluarkan larva. Selanjutnya dalam waktu kira-kira 3 hari, larva berkembang menjadi filaniform (berbentuk infektif). Larva filariform  dapat bertahan di dalam tanah selama 7 – 8 minggu (Onggowaluyo, 2000).
Larva cacing masuk ke dalam tubuh manusia melalui kulit yang utuh, terutama melalui tangan ketika dia memegang benda-benda yang mengandung larva. Dari pori-pori, larva cacing ini masuk ke aliran darah, lalu ke jantung, paru-paru, dilanjutkan melalui tenggerokan sampai usus. Umumnya cacing ini akan tinggal  di usus halus dan menjadi dewasa.
Seperti lazimnya cacing jenis lain, betinanya akan bertelur dan telurnya akan keluar lagi bersama tinja. Di tanah, telur akan menetas dalam 2 hari dan dalam 3 – 5 hari menjadi larva yang bersifat infektif (Utiek, 2006).
Telur cacing tambang sulit dibedakan, karena pabila ditemukan dalam tinja atau tanah tersebut disebut sebagai telur hookworm atau telur cacing tambang. Bentuk telurnya oval, dinding tipis dan rata, warna putih. Larva pada stadium rhabditiform dari cacing tambang sulit dibedakan. Panjangnya 250 mikron, ekor runcing dan mulut terbuka. Larva pada stadium filariform (infective larva) panjangnya 700 mikron, mulut tertutup ekor runcing dan panjang oesophagus 1/3 dari panjang badan.
Cacing dewasa jantan berukur 8-11 mm sedangkan betina berukuran 10 – 13 mm. Cacing Necator americanus betina dapat bertelur ± 9.000 butir/hari sedangkan cacing Ancylostoma duodenale betina dapat bertelur ± 10.000 butir/hari.
Gambar : Cacing Ancylostoma duodenale Dewasa.
c)      Gejala Klinis
Larva : setelah larva menembus kulit adalah timbulnya rasa gatal-gatal biasa. Apabila larva menembus kulit dalam jumlah banyak rasa gatal semakin hebat dan kemungkinan terjadi infeksi sekunder apabila larva mengadakan migrasi ke paru maka dapat menyebabkan pneumonitis yang tingkat gejalanya tergantung pada jumlah larva tersebut.
Cacing dewasa : gejala klinis yang disebabkan oleh cacing tambang dewasa dapat berupa jaringan usus, gangguan gizi, dan kehilangan darah.
Pada infeksi akut yang disertai jumlah cacing yang banyak, penderita mengalami lemah badan, nausea, sakit perut, lesu, pucat dan kadang – kadang diare dengan tinja berwarna merah sampai hitam (tergantung jumlah darah yang keluar).
d)      Diagnosa
Menurut metode Harada Mori diagnosis pasti infeksi cacing tambang ditegakan dengan menemukan telur  dan larva dalam tinja dan tanah yang dibiarkan. Skala beratnya infeksi cacing tambang diketahui berdasarkan jumlah telur yang ditemukan dalam tinja.

C.    Kerangka Teori
Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah dipaparkan, maka dapat disusun kerangka teori sebagai berikut :
 
















D.    Kerangka Konsep
Kerangka konsep penelitian pada dasarnya adalah kerangka hubungan antara konsep-konsep yang ingin diamati atau diukur melalui penelitian-penelitian yang akan dilakukan.
 




E.     Hipotesis
1.      Ada hubungan Ascaris lumbricoides dengan kejadian kecacingan di SDN 03 Bambalamotu Kabupaten Mamuju Utara.
2.      Ada hubungan Trichuris trichiura dengan kejadian kecacingan di SDN 03 Bambalamotu Kabupaten Mamuju Utara.
3.      Ada hubungan Ancylostoma duodenale dengan kejadian kecacingan di SDN 03 Bambalamotu Kabupaten Mamuju Utara.







BAB III
METODE PENELITIAN
A.    Jenis Penelitian dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian observasi yang bersifat analitik untuk mengetahui hubungan kejadian kandungan cacing tanah sebagai faktor resiko kejadian kecacingan pada anak usia 7 – 8 tahun di SDN 03 Bambalamotu Kabupaten Mamuju Utara. Sedangkan rancangan penelitian dilakukan adalah cross sectional.
B.     Lokasi dan Waktu Penelitian
a.       Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di SDN 03 Kecamatan Bambalamotu Kabupaten Mamuju Utara.
b.      Waktu Penelitian
       Penelitian ini dilakukan pada bulan juni tahun 2012.

C.    Populasi dan Sampel
a.       Populasi
Populasi penelitian ini adalah semua anak sekolah dasar usia 7 – 8 tahun yang terdapat di SDN 03 Bambalamotu Kecamatan Bambalamotu Kabupaten Mamuju Utara adalah sebanyak 250 orang.
b.      Sampel
Sampel penelitian ini adalah semua anak sekolah dasar usia 7 – 8 tahun yang besar sampelnya di hitung berdasarkan rumus.
Pengambilan sampel dilakukan dengan cara acak. Besar sampel ditentukan dengan rumus (Notoatmojo, 2002).
                                        n=       N
                                                 1+N (d)2
    n=      250                  
                                              1+250 (0,1)2
                n= 71,42
                                        n= 71 orang
keterangan :
n = Besar sampel
N= Besar populasi
d= Tingkat Kepercayaan atau ketepatan  yang diinginkan (0,05)
Dari hasil perhitungan rumus di atas diperoleh besar sampel sebanyak 71,42 (dibulatkan menjadi 71 anak sekolah dasar 7 – 8 tahun).
D.    Sumber Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini mencakup data primer dan data sekunder.
a.       Data Primer
Data Primer mencakup data :
-          Identitas anak sekolah dasar diperoleh dari sekolah yang bersangkutan.
-          Untuk melihat adanya kecacingan pada anak dengan pemeriksaan telur cacing pada feses anak yang diambil oleh ibu anak dan diletakkan pada pot kecil yang diberikan pada saat wawancara dan di periksa sendiri di laboratorium P2B2 Donggala menggunakan miskroskop.
-          Untuk melihat kandungan cacing tanah sebagai faktor kecacingan dengan melakukan pemeriksaan tanah pada sekolah dan tanah di halaman anak sekolah , sampel tanah diambil pada saat survei di sekolah dan pada saat wawancara di rumah anak dan diperiksa sendiri di laboratorium kesehatan lingkungan.
b.      Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dari Puskesmas Bambalamotu mengenai data – data jumlah seluruh anak yang mengalami kecacingan, serta data mengenai kecacingan di kecamatan tersebut.





E.     Defenisis Opersional, Cara Pengukuran, dan Alat Ukur
Defenisi operasional masing – masing variabel penelitian, sebagai berikut :
     Tabel 1. Defenisi Operasional, Cara Pengukuran Dan Alat Ukur
No.
Variabel
Indikator variabel
Cara mengukur
Skala
Klasifikasi
1.
Dependen
Keberadaan telur cacing dalam tanah
Berdasarkan pemeriksaan
Feses
Uji laboratorium

Nominal

(+)
(-)

2.
Independen
Keberadaan telur cacing dalam feses


Berdasarkan pemeriksaan Halaman sekolah dan halaman rumah

Uji laboratorium

nominal

1.A
2.TA


F.     Pengumpulan Data
Instrumen untuk mengumpulkan data responden ialah dengan menggunakan kuesioner. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini ada beberapa cara, yaitu :
1.      Wawancara
Wawancara menggunakan kuesioner, dilakukan untuk menggali berbagai informasi terkait dengan variabel. Daftar pertanyaan dirancang untuk menggali informasi untuk  pengambilan data survei infeksi kecacingan.
2.      Metode Observasi
Observasi dilakukan oleh peneliti secara formal dan informal untuk mengamati kondisi lingkungan fisik di lokasi penelitian, serta mengamati perilaku masyarakat yang terkait dengan faktor risiko infeksi kecacingan guna mendapatkan informasi tambahan dari hasil wawancara.
3.      Metode Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mengetahui kondisi infeksi kecacingan pada anak sekolah. Metode pemeriksaan laboratorium yang dipilih dalam penelitian ini adalah metode pemeriksaan telur cacing pada tanah di sekolah dan di halaman rumah anak, sementara untuk pemeriksaan sampel feses dilakukan dengan metode Katho Katz.

1)      Alat dan bahan pemeriksaan :
Peralatan yang digunakan dalam pemeriksaan sampel tanah di antaranya adalah :
·         Tabung sentrifuse,
·         Rak tabung reaksi,
·         Saringan kawat kasa,
·         Batang pengaduk,
·         Kaca obyek,
·         Kaca penutup degk glass,
·         Sentrifuse,
·         Mikroskup.
Bahan yang diperlukan adalah :
·         Aquades,
·         Larutan Hipoklorit 30 %,
·         MgSO4 282 gr/liter,
·         Eosin.
2)      Prosedur kerja :
a)      Disiapkan seluruh alat dan bahan pemeriksaan.
b)      Saring sampel tanah dengan saringan kawat kasa.
c)      Timbang sebanyak 5 gram.
d)     Masukkan dalam tabung sentrifuse, minimal dua tabung digunakan dalam satu sampel tanah.
e)      Tambahkan larutan hipoklorit sebanyak ¾ volume tabung.
f)       Sentrifuse selama 2 menit lalu buang supernatan.
g)      Tambahkan aquades sebanyak ¾ volume tabung.
h)      Sentrifuse selama 2 menit lalu buang supernatan.
i)        Tambahkan larutan MgSO4  ¾ volume tabung.
j)        Aduk dengan batang pengaduk hingga homogen, kemudian sentrifuse.
k)      Tambahkan  larutan MgSO4   hingga mencapai permukaan tabung. Tiap tabung ditutup dengan deck glass. Jika ada telur cacing dalam tabung tersebut. Maka telur akan mengapung dan menempel pada deck glass.
l)        Pindahkan deck glass ke atas kaca benda (objek glass), jika perlu tambahkan eosin sebagai pewarna.
m)    Periksa di bawah mikroskop.
3)      Alat dan Bahan Pemeriksaan :
Peralatan yang digunakan dalam pemeriksaan feese di antaranya adalah :
·         Lidi,
·         Kawat baja,
·         Objek glass,
·         Karton kato,
·         Cellophan tape,
·         Kertas tisu, dan
·         Mikroskup.
Bahan yang diperlukan adalah :
·         Feses,
·         Malachite – green glyserin.
4)      Prosedur Kerja :
a)      Feses diambil deri pot menggunakan lidi sebesar ibu jari.
b)      Kemudian, disaring dengan kawat baja
c)      Hasil penyaringan diambil untuk di buat sedian pada objek glass dengan menggunakan karton yang telah dilubangi (karton kato)
d)     Kemudian, di tutup dengan cellophan tape yang telah direndam pewarna malachite-green glyserin
e)      Sedian diratakan, dan diletakkan terbalik diatas kertas tisu agar cairan pewarna yang berlebihan dapat terserap.
f)       Lihat pada mikroskop apakah terdapat telur cacing.
5)      Interpretasi hasil :
Interpretasi hasil merupakan data kualitatif yang dinyatakan dengan :
Positif : apabila ditemukan telur atau larva cacing di tanah halaman  sekolah dan halaman rumah responden .
Negatif : apabila tidak ditemukan telur atau larva cacing di tanah halaman sekolah dan halaman rumah responden.

G.    Rancangan Pengolahan Data
Pada variabel terikat, kejadian infeksi kecacingan pada anak sekolah dasar di SDN 03 Bambalamotu yang diperoleh dengan hasil pemeriksaan laboratorium dikategorikan menjadi dua, dimana apabila ditemukan telur cacing dikategorikan “positif” sedangkan apabila tidak ditemukan dikategorikan “negatif”.

H.    Analisis Data
Data yang terkumpul dilakukan pemeriksaan data, pengkodean, rekapitulasi dan tabulasi, kemudian dilakukan analisis statistik dengan menggunakan SPSS versi 16,0. Adapun rancangan analisis statistik yang akan digunakan : Analisis bivariat, digunakan untuk mengetahui besar resiko (OR) variabel bebas dengan variabel terikat secara sendiri – sendiri dengan menggunakan uji Chi Square.

I.       Rencana Kegiatan
Tahapan rencana kegiatan penelitian dan penulisan dapat di rangkum dalam bagan sebagai berikut :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar